Sejarah Periklanan di Dunia & DI Indonesia

Definisi periklanan

Ada tiga istilah yang umum dipakai di indonesia untuk menyebut advertising, yaitu: reklame, advertensi, dan iklan.reklame berasal dari bahasa belanda yang dieja sebagai reclame.kata itu juga berasal dari bahasaperancis reclamare. Advertensi berasal dari bahasa belanda advertentie yang juga mengacu pada bahasa inggris advertising.Sedangkan iklan yang umum dipakai dalam bahasa Melayu berasal dari bahasa Arab i’lan atau i’lanun secara harfiah berarti informasi.

Banyak definisi diberikan bagi kata ‘periklanan’, akan tetapi  salah satu yang paling sederhana dengan harapan agar kita tidak berdebat soal ini. Periklanan adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan pembuat barang, atau pemasok jasa dengan masyarakat banyak atau sekelompok orang tertentu yang bertujuan untuk menunjang upaya pemasaran. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan gambar, suara atau kata-kata, gerak atau bau yang disalurkan melalui media atau secara langsung. Berdasarkan pengertian ini maka ‘Biro Iklan’ adalah lembaga usaha yang memberikan jasa periklanan bagi siapa yang membutuhkan baik perorangan, perusahaan pembuat barang atau pemasok jasa bahkan pemerintah. Oleh karena bentuk pelayanan periklanan meliputi berbagai jenis kegiatan maka dilihat dari skala usahanya ada berbagai ukuran sebuah biro iklan.

Ada kios berukuran 1×1m yang menawarkan jasa pembuatan cap dan papan nama toko, di luar kiosknya terpampang ‘Biro Iklan’. Ada rumah kecil yang memberikan pelayanan fotokopi dan agen langganan surat kabar dan majalah. Semangat wiraswasta telah mengembangkan pemiliknya untuk menerima pesanan pemasangan iklan dengan harga resmi. Di bawah tulisan terima Fotokopi kini tertulis ‘Biro Iklan’. Ada sekelompok seniman yang pintar menggambar wanita cantik dan membuat huruf yang rapih dan artistik. Di muka studionya dipasang tulisan ‘Biro Iklan’. Ada gedung berlantai banyak, berkarpet tebal, pegawainya berdasi corak mutakhir, setiap ruangan disejukkan oleh AC dan di luar ada prasasti kuningan yang dietsa ‘Advertising Agency’. Agar pembicaraan kita hari ini dapat mencakup sebanyak mungkin kegiatan yang berlangsung di sebuah biro iklan maka anda semua akan saya ajak untuk berkunjung pada sebuah ‘Full Service Advertising Agency’.

Sebuah biro iklan yang mendukung predikat ini adalah biro yang mempunyai kapasitas untuk memberi pelayanan di tiga bidang yaitu, pertama, konsultasi komunikasi pemasaran, kedua pelayanan perencanaan dan pemesanan media, dan ketiga pelayanan kreatif.

Pelayanan konsultasi pemasaran merupakan barisan terdepan yang berhadapan langsung dengan fihak pemakai jasa periklanan. Minat yang disampaikan oleh sebuah perusahaan atau perorangan pada sebuah biro iklan akan diterima oleh para pakar pemasaran yang mampu berdialog dengan manajer pemasaran dari perusahaan yang membutuhkan jasa iklan.

Kegiatan awal sebuah proses beriklan lebih sering merupakan peristiwa ekonomi. Strategi pemasaran, kebijaksanaan harga, pangsa pasar strategi distribusi, trade relations merupakan pokok-pokok pembicaraan yang paling hangat pada stadium ini.

Semakin besar skala usaha sebuah biro iklan semakin besar pula kemampuannya untuk mempekerjakan ahli-ahli dan pakar-pakar pemasaran yang akan menentukan kualitas hubungan awal dengan para calon pemakai jasa.

Berkembangnya pendidikan ilmu ekonomi telah banyak memberi dorongan bagi pertumbuhan kualitas perusahaan periklanan di Indonesia. Kehadiran modal asing dan kegiatan memproduksi barang-barang yang berasal dari luar negeri telah menghadirkan kegiatan pemasaran global yang dampaknya sangat menentukan kemampuan para pakar pemasaran di sebuah biro iklan dalam berbicara pada tingkat pengetahuan pemasaran yang bersifat internasional.

Sektor kedua yang menunjang predikat ‘full service’ adalah Media. Seperti hadirnya para pakar pemasaran maka perkembangan biro iklan di Indonesia juga sangat ditentukan oleh meningkatnya kualitas pelayanan perencanaan dan pemesanan Media.

Peningkatan ini tidak lepas dari perkembangan industri media yang telah berlangsung sejak dua dekade ini. Tumbuhnya pemancar komersial di segenap penjuru tanah air, masing-masing dengan gaya dan cara pendekatan yang berbeda. Terbitnya puluhan majalah-majalah baru mulai dari yang bersifat umum hingga majalah yang khusus bicara soal rambut, mobil, konstruksi dan komputer. Terbitnya surat kabar yang berdomisili di ibu kota negara, ibu kota propinsi atau ibu kota kabupaten, masing-masing dengan garapan berita yang beda ruang lingkupnya.

Adanya pilihan yang diberikan oleh industri media dan tantangan untuk menemukan rancangan media yang efektif dan terjangkau oleh biaya periklanan yang disediakan oleh perusahaan pemakai jasa iklan, serta riset dan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan yang khusus bergerak dalam bidang jasa riset telah ikut memberikan masukan yang sangat menunjang kualitas pelayanan jasa perencanaan media. Fakta ini telah memberi warna khusus bagi kegiatan periklanan sebagai kegiatan komunikasi yang dilakukan secara tepat arah dan terukur.

Sektor ketiga yang juga ikut mendukung predikat Full Service adalah pelayanan jasa kresatif. Pelayanan jasa kreatif merupakan bagian akhir dari mata rantai proses terciptanya sebuah iklan sebelum disalurkan ke Media. Karena kegiatan dan proses kreatif memberikan wujud bagi sebuah iklan atau pesan maka sering orang mengira bahwa lahirnya iklan ada di tangan seniman. Pandangan keliru ini telah banyak mendorong banyak seniman yang mendirikan biro iklan dan dalam perkembangan selanjutnya lebih sering mengalami kegagalan.

Dibandingkan dengan peran sektor pemasaran dan sektor media, maka peran sektor kreatif masih jauh tertinggal. Sikap dan wawasan yang berkembang di antara para praktisi di sektor kreatif bila kita amati secara objektif masih terpaku pada kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang sederhana dan sempit. Sebagian besar dari iklan-iklan yang kita temui di media masih berputar-putar di sekitar penonjolan ‘Product/Consumer benefit’ yang ditampilkan apa adanya. Cara lain yang paling mudah dilakukan adalah dengan menciptakan iklan dengan memanfaatkan strategi Before-After, Sebelum makan obat dan sesudah makan obat. Sikap bangsa Indonesia yang paternalistik sering disalahartikan dengan menerapkan strategi testimonial orang-orang yang terkenal. Kehadiran perusahaan periklanan Internasional di Indonesia sedikit banyak telah memperkenalkan praktek-praktek kreatif yar.g sedikit lebih maju. Format-format pengembangan kreatif yang telah teruji mulai diperkenalkan kepada para pakar bidang kreatif.

Perusahaan iklan internasional seperti J. Walter Thompson, Dentsu, BBDO, Ted Bates, O&M, Saatchi & Saatchi telah mempertemukan cara-cara bekerja mereka dan pemikiran yang berkembang di sini. Sudah barang tentu hal ini tidak selalu mampu memberikan kemajuan yang berarti. Salah satu hambatan yang paling besar adalah keterbatasan bahasa Indonesia untuk mendukung ungkapan-ungkapan yang menarik. Salah satu manfaat yang paling berarti dengan kehadiran perusahaan Internasional adalah format yang mampu mempertemukan orang kreatif dan orang pemasaran dan orang-orang Media dalam satu meja yang membicarakan pemecahan-pemecahan terbaik dalam penyampaian pesan iklan. Oleh karena itu kami, orang-orang yang bekerja di sektor kreatif kini harus memahami makna strategi pemasaran, pangsa pasar, membaca hasil riset kualitatif dan mempelajari demografi. Dengan modal pengetahuan di bidang pemasaran dan prinsip-prinsip Media maka sebelum kita mampu menciptakan iklan yang menarik perhatian khalayak pengamat maka setidak-tidaknya kita sudah menciptakan iklan yang benar dan terarah. Bila pintu Creative Department sebuah biro iklan dibukakan bagi anda maka di sana kita akan bertemu dengan banyak orang yang menyandang berbagai fungsi yang berbeda. Ada Creative Director yang menggariskan konsep isi pesan dan strategi penyampaiannya. Ada Art Director yang menggariskan konsep visual dan naskah, ada visualiser yang mengungkapkan gagasan terwujud berbentuk visual, ada copy writer yang menyusun naskah, ada paste up artist yang merampungkan gambar kerja siap cetak/separasi, ada photographer, ada typographer, ada jingle writer/composer/arranger. Semua orang-orang ini memberikan sumbangannya bagi terciptanya sebuah iklan.

Skenario yang berkembang di sebuah Creative Department pada saat ini menunjukkan kuatnya posisi Creative dan Art Director. Situasi ini banyak disebabkan adanya kesenjangan antara tokoh yang menduduki kedua jabatan itu dan tokoh-tokoh lain yang melanjutkan pekerjaan mereka. Kurang tingginya kualitas tenaga kreatif di bidang periklanan dewasa ini banyak disebabkan oleh tidak adanya pendidikan khusus yang menghasilkan tenaga spesialis periklanan. Pendidikan Commercial Art yang diselenggarakan di luar negeri merupakan tempat ditempanya para tenaga kreatif yang akan bekerja di bidang periklanan.

Sedangkan pendidikan di sini lebih mengarah kepada pendidikan desain grafis yang lebih menekankan faktor estetik atau pendidikan komunikasi visual yang mempelajari secara luas pemecahan visual masalah komunikasi.

Masih rendahnya kualitas tenaga kreatif dalam biro iklan di Indonesia dewasa ini telah membawa pada praktek pembuatan iklan yang melanggar kode etik maupun standar nilai yang dihormati masyarakat.

Salah satu perkembangan yang menarik akhir-akhir ini adalah keterlibatan biro iklan pada perencanaan kampanye non-komersial. Program keluarga berencana kini diselenggarakan dengan pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada marketing.

Istilah ‘Social Marketing’ kini menjadi kawasan baru para pakar periklanan yang menerjuni kegiatan periklanan non-komersial yang tidak kurang pentingnya bagi Indonesia dewasa ini. Ada yang terlibat dalam kegiatan menunjang marketing produk-produk yang distribusinya sangat terbatas, akan tetapi ada yang terlibat dengan kegiatan marketing produk yang tersebar luas dan dikonsumir oleh orang yang lebih banyak.

Kualitas dari performance-nya akan terbaca dari citra produk dan tercapai tidaknya tujuan-tujuan marketing yang telah digariskan. Dari catatan yang saya ketahui maka hanya ada biro iklan yang masuk dalam kategori Full Service Advertising Agency. Dari sebanyak ini sebagian besar berada di Jakarta.

Posisi sebuah biro iklan yang sangat terlibat dengan strategi periklanan sebuah produk tertentu telah sangat menutup pintu mereka terhadap orang luar sehingga agak sukar untuk bisa mengintai secara langsung proses yang berlangsung di dalamnya

SEJARAH PERIKLANAN DUNIA

Masa sebelum ditemukannya mesin cetak

“ Commercial message and political campaign displays have been found in the ruins of ancient Arabia. Egyptians used papyrus to create sales messages and wall posters, while lost-and-found advertising on papyrus was common in Ancient Greece and Ancient Rome. Wall or rock painting for commercial advertising is another manifestation of an ancient advertising form, which is present to this day in many parts of Asia, Africa, and South America.”

(Pesan komersial dan publikasi kampanye politik sudah ditemukan dalam reruntuhan bangsa Arab kuno. Orang-orang mesir menggunakan papyrus untuk membuat pengumuman mengenai barang-barang yang di jual dan membuat poster yang ditempelkan di dindng, saat iklan mengenai ‘lost and found’ mulai marak di Yunani dan Romawi kuno. Lukisan dinding dan batu untuk iklan komersial merupakan manifestasi lain dari bentuk periklanan kuno, dimana hal itu menunjukkan kehadiran iklan masa lalu di bagian Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.)

Para arkeolog meyakini, advertising sudah ada sejak zaman dulu. Advertising dilakukan dalam berbagai bentuk “mempublikasikan” berbagai peristiwa (event) dan tawaran (offers). Metode iklan pertama yang dilakukan oleh manusia sangat sederhana. Pemilik barang yang ingin menjual barangnya akan berteriak di gerbang kota menawarkan barangnya pada pengunjung yang masuk ke kota tersebut. Iklan sudah dikenal manusia dalam bentuk pesan berantai (word of mouth) yang bentuknya pengumuman-pengmuman. Pesan berantai itu disampaikan dari mulut ke mulut untuk membantu kelancaran proses jual-beli.

Pesan iklan dalam bentuk tertulis mulai ditemukan pada masa Babylonia 3000 SM berupa kepingan tanah liat (clay tablet) bertuliskan prasasti tentang dealer salep (ointment dealer), juru tulis (scribe) dan pembuat sepatu.

Peninggalan Mesir dan Yunani Kuno berupa pengumuman-pengumuman di dinding dan naskah di daun papirus, memberikan pengumuman tentang datangnya kapal pembawa anggur, rempah-rempah, logam, barang-barang dagangan baru, acara-acara  (pertarungan gladiator) yang bakal digelar, budak yang lari dari tuannya. Orang-orang Roma mengecat dinding untuk mengumumkan perkelahian gladiator. Iklan pada jaman ini hanya berupa surat edaran. Karena masih banyak yang buta huruf, pengumuman-pengumuman itu dibacakan oleh tukang teriak (town crier) yang biasa didampingi pemain musik.

Terakota Yunani dan Romawi Kuno sudah digunakan untuk mengumumkan lost & found. Di reruntuhan kota Pompeii terdapat tanda-tanda di terakota yang mengiklankan apa ynag dijual di toko : danging sapi (row of hams), sapi penghasil susu, kulit untuk sepatu. Disaping itu juga ditemukan bukti-bukti adanya pesan-pesan politik.

Orang-orang Ponosea melukis gambar untuk mempromosikan perangkat keras mereka di batu-batu besar di sepanjang jalur parade. Di Pompei misalkan, banyak lukisan seorang tokoh politisi dan meminta dukungan suara dari masyarakat. Di Perancis, traditional advertising sudah marak tahun 550 Sebelum Masehi untuk mengiklankan kaum negro sebagai budak.

Pada zaman Julius Caesar di eropa banyak toko dan penginapan yang sudah pakai tanda, papan nama, atau simbol, untuk membantu mereka yang buta huruf. Misalnya penginapan dengan simbol Man in The Moon, Three Squirrels, Hole in The Wall.

Untuk ribuan tahun-tahun awal, orang beriklan untuk mempromosikan dua hal, tempat dan jasa. Iklan di bawah ini adalah contoh pertama. Begitu juga plang di depan kedai minum dan penginapan (taverns and inns)

Daniel Mannix, dalam bukunya yang bercerita tentang olah raga kuno Roma, “ Those About to Die “, mencatat sebuah iklan yang ditemukan di sebuah kuburan tua (tombstone) :

“ Weathre permitting, 30 pair of gladiators, fumished by A.

Clodius flaccus, together with substitutes in case any get

Killed too quickly, will fight may 1 st, 2 nd and 3 rd at the

Circus Maximus.The fights will followed by a big wild beast

Hunt. The famos gladiator paris will fight. Hurrah for

Paris! Hurrah for the generous flaccus, who is running

for Duumvite!” (Below this is an ad for the copywriter.

“ Marcus wrote this sign by the light of the moon. If you

Hire Marcus, he ‘ll work day and night to do a good job. “)

(Mannix,p.28).

Demikian pula berbagai gambar di batu cadas(rock paintings) di berbagei situs lama di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan kehadiran “iklan” di masa lalu.

Masa setelah ditemukannya mesin cetak

Penemuan mesin cetak Gutenberg 1450 meningkatkan angka melek huruf sehingga merangsang orang untuk berbisnis iklan. Periklanan jadi bisnis massal. Bentuk awalnya berupa poster,handbill (selebaran), dan iklan baris (classified) di surat kabar.

1472 William Caxton di London mencetak iklan berbahasa Inggris pertama berupa selebaran (handbill) berisi tuntunan keagamaan tentang perayaan paskah (rules for the guidance of the clergy at easter). Versi lain mengatakan iklannya berupa penjualan injil (prayer book). Awal abad 16 dan 17 yang banyak ditampilkan adalah iklan tentang budak belian, kuda buku, obat.

Sebagai bentuk printed advertising, periklanan berkembang di awal abad 15-16. Beberapa waktu kemudian mulai muncul metode iklan dengan tulisan tangan dan dicetak di kertas besar yang berkembang di Inggris. Iklan pertama yang dicetak di Inggris ditemukan pada Imperial Intelligencer Maret 1648.

Pada tahun 1622 Surat kabar terbit di Inggris terbit untuk pertama kalinya,The Weekly News kemudian disusul The Tattler yang terbit tahun 1709 dan The Spectator yang terbit pada 1711. Ketiga Koran ini merupakan media cetak yang membawa lembaran iklan secara piggy-back.

Pada tahun 1655 istilah iklan (advertisement) muncul pertama kali dalam injil untuk menunjuk istilah “peringatan”/“pemberitahuan” (warning/ notification).

Pada tahun 1660 mulai istilah itu dipaka untuk keperluan informasi komersial (commercial information), khususnya oleh para saudagar toko.Pesan-pesan iklan lama kehalaman semakin simple dan inovatif sejak tahun 1700 dan 1800-an.

Pada tahun 1690 lahir Public Occurencs Both Foreign and Dometic, Koran (tidak harian) pertama di Amerika hanya  membuat satu berita (issue).

Periklanan secara nyata mulai menunjukkan kemajuan di awal abad 17 di Inggris untuk mempromosikan buku dan Koran yang mulai berkembang.Pada abad ke-17 di Inggris, pesan-pesan komersial masih berbentuk poster atau selebaran lepas yang dikirim dalam lipatan surat kabar. Produk yang paling banyak diiklankan pada masa ini adalah buku dan obat-obatan. 

Pada tahun 1704 Boston Newsletter, koan AS pertama yang muat iklan, berupa tawaran hadiah bagi yang bisa menangkap pencuri baju.

Iklan-iklan media cetak pada abad 18 umumnya ditunjukan pada sasaran pembaca di Eropa yang menyebutkan adanya tanah-tanah garapan yang menantang untuk masa depan di Amerika. Salah satunya iklan ada tanah 150 ha di Philadelphia.

Pada tahun 1729 Iklan pertama di surat kabar “ Pennysilvania Gazette” yang terbit di Amerika Serikat. Amerika waktu itu masih menjadi wilayah jajahan Inggris, dan surat kabar yang didirikan oleh Benjamin Franklin itu berhasil mencapai tiras tertinggi serta pendapatan iklan terbesar pada masanya.

Pada tahun 1740 poster cetak outdoor pertama muncul di London (disebut “hoarding”).

Pada tahun 1776 muncul iklan proklamasi kemerdekaan AS di Pennsylvania Evening Post and Daily Advertiser, Koran yang terbit secara harian pertama di AS.

Ketika aktivitas perekonomian mulai meningkat diberbagai penjuru dunia, di abad 18-an, di Amerika Serikat, periklanan mulai mendapat perhatian besar. Beberapa toko di Eropa mulai berfungsi sebagai agen yang mengumpulkan iklan untuk surat kabar.

Sangat boleh jadi Sears catalog menjadi inspirasi bagi lahirnya iklan display di media cetak. Sears adalah pelopor rantai toko (chain stores) di A.S yang kemudian berkembang menjadi department stores. Kehadiran Sears yang menjual berbagai barang secara lengkap menggantikan toko-toko serupa berskala kecil yang pada waktu itu disebut dengan mercantile.

Untuk memudahkan pelanggan, karena pada masa itu transportasi masih terbatas, Sears menerbitkan katalog tentang semua barang yang dijual dan para langganan dapat memesan melalui pos (mail order). Setiap barang yang ditawarkan ditampilkan secara menarik dengan foto-foto dan gambar-gambar yang atraktif. Begitu populernya Sears Catalog di masa lalu, sampai-sampai ia disebut sebagai Injil Petani (Farmers Bible)

Tampilan dan peragaan produk seperti di Sears Catalog itulah yang kemudian dijumpai  di berbagai surat kabar dan majalah di Amerika Serikat, serta kemudian menyebar ke seluruh dunia. Di masa kini penampilan seperti itu sering disebut sebagai display advertising (iklan komersial)

Pada abad ke-19 mulai dikenal pembelian ruang iklan melalui agen perseorangan (menyalurkan lagi ke perusahaan periklanan). Pada masa dinasti Edo di Jepang, awal abad-19 selebaran yang didistribusikan bersama surat kabar juga banyak membawa pesan-pesan komersial, khususnya tentang obat-obatan.

Pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai bergerak pesat pada awal abad ke-19 akhirnya memicu hadirnya iklan di surat kabar amerika Serikat, beberapa surat kabar mulai memuat pesan-pesan singkat tentang produk, tampil dengan huruf-huruf kecil di dalam kotak, di antara berita dan Tulsan lain. Iklan yang saat ini disebut sebagai classified advertisement ini mempromosikan berbagai jenis barang dan jasa.

Pada tahun 1841 Volney Palmer, “orang iklan” (adman) masa-masa awal, bertindak sebagai media broker / agen, mendapat komisi dari pemasangan iklan di media (media placement). Palmer mendirikan Agensi Periklanan pertama oleh Volney Palmer di Boston. Pada waktu itu, agensi periklanannya masih sebatas perantara pemasar dengan pihak surat kabar sebagai penerbit iklan

Pada tahun 1844 muncul iklan majalah pertama di majalah Southern Messenger dengan editornya Edgar Allan Poe (pengarang Tarzan). Majalah-majalah iklan periode awal yang masih terbit sampai sekarang adalah Cosmopolitan, ladies Home Journal, ReadeR’s Digest.

Sampai tahun 1850-an, di Eropa iklan belum sepenuhnya dimuat di surat kabar. Kebanyakan masih berupa pamflet, leaflet, dan brosur.

Pada tahun 1864 periklanan berkembang seiring perkembangan pers yang juga ditandai berkembangnya perusahaan periklanan dengan fungsi sederhana.

Pada tahun 1871 Charles bates membuat biro iklan professional pertama kali.

Pada tahun 1875 di Philadelpia, dibuat agensi periklanan yang lebih multi fungsi. Dalam periode ini pula wanita mulai mengambil porsi. Baik sabagai tenaga periklanan, maupun sebagai image produk iklan. Penggunaan “wanita” sebagai daya tarik, pertama kali dipakai dalam iklan sabun mandi.

Pada tahun 1880 John Power, penulis naskah iklan (copywriter) pertama

Setelah 1880an, perusahaan periklanan meningkatkan fungsi dengan menawarkan konsultasi dan jasa periklanan lain

Pada tahun 1891 J Walter Thompson, Account Executive pertama.

Pada tahun 1920 KDKA stasiun radio pertama di dunia lahir di Pittsburgh. Saat radio siaran mulai mengudara di tahun 1920-an, periklanan di radio pun mulai marak walaupun secara teknis dan daya tarik, tidak seperti yang kita nikmati saat ini. Sponsorsif saat itu lebih banyak dikuasai satu orang/pihak. Misalnya, sponsorsif suatu radio, dikuasai satu bisnisman. Dengan kata lain, space iklan digunakan sendiri. Tapi seiring dengan tingginya persaingan, kondisi ini berangsur-angsur berubah.

Pada tahun 1922 Iklan pertama di radio duniaWEAF, New York.

Pada tahun 1939 NBC, stasiun tv pertama.

Periklanan masuk dunia televisi di awal tahun 1940an. Iklannya bisa berupa commercial atau public advertising

Pada tahun 1941 Iklan televisi hitam/putih pertama di New York, Amerika Serikat  mengiklankan Arloji Bulova dengan harga spot US $ 9.

poster film tahun 1950

Pada tahun 1954 Iklan televisi berwarna pertama ditayangkan. Mengiklankan Castro Decorate, New York.

Pada peralihan menuju abad ke-20, sistem manajemen periklanan modern seperti posisi manajer iklan mulai diterapkan

“The 1960s saw advertising transform into a modern approach in which creativity was allowed to shine, producing unexpected messages that made advertisements more tempting to consumers’ eyes. The 1960s saw advertising transform into a modern approach in which creativity was allowed to shine, producing unexpected messages that made advertisements more tempting to consumers’ eyes.”

iklan penggunaan lampu hemat energi

Advertising modern sendiri yang mulai berkembang tahun 1960an, jauh berbeda dengan advertising masa lampau. Pada tahun ini, periklanan menemukan bentuknya yang modern dengan karya-karya kreatif yang menakjubkan. Perintis iklan dengan landasan karya kreatif yang digarap secara apik ini dipelopori oleh seri iklan mobil kodok volkswagen yang menampilkan judul-judul seperti “Think Small“ dan “          Lemon.“ Iklan-iklan Volkswagen inilah yang meletakkan dasar positioning dan uniqe salling proposition (USP) dalam periklanan yang masih dipegang hingga kini. Konsep ini mengikat (associate) setiap brand dengan satu sspesific idea yang khas yang menancap di benak konsumen.

Di akhir 1980 dan awal 1990 memperlihatkan kemunculanTv Kabel dan MTV, sebagai bagian darinya. Sebagai Pionir dalam konsep musik-video, Pelayanan MTV merupakan sebuah tipe periklanan yang baru. Konsumen lebih menyimak pesan yang diiklankan MTV dibandingkan dengan membeli setelah mendapat informasi dari media lain. Saat tv kabel dan tv satelit mengalami peningkatan secara umum, beberapa saluran berada di posisi puncak, termasuk saluran yang seluruh durasinya berisi iklan seperti QVC, Home Shopping Network, dan Shop Tv.

Pemasaran melelui internet membuka batas baru bagi periklanan dan memberikan kontribusi pada ‘boomingnya’ “dot-com” tahun 1990. Seluruh perusahaan terus beroperasi semata-mata dalam bidang periklanan, dan menawarkan segalanya untuk kupon berlangganan internet gratis. Memasuki abad ke-21 sejumlah website, termasuk ‘mesin pencarian google’ memulai perubahan dalam dunia periklanan on-line dengan mengekspansi relevansi kontekstual, tidak menonjolkan iklan dibandingkan dengan pemberian bantuan dan lebih utama ketimbang membanjiri konsumen dengan brosur. Hal ini  menandai kebangkitan dari upaya untuk meningkatkan trend periklanan interaktif.

Pemasaran melalui internet membuka batas baru bagi periklanan dan memberikan kontribusi pada ‘boomingnya’ “dot-com” tahun 1990. Seluruh perusahaan terus beroperasi semata-mata dalam bidang periklanan, dan menawarkan segalanya untuk kupon berlangganan internet gratis. Memasuki abad ke-21 sejumlah website, termasuk ‘mesin pencarian google’ memulai perubahan dalam dunia periklanan on-line dengan mengekspansi relevansi kontekstual, tidak menonjolkan iklan dibandingkan dengan pemberian bantuan dan lebih utama ketimbang membanjiri konsumen dengan brosur. Hal ini  menandai kebangkitan dari upaya untuk meningkatkan trend periklanan interaktif.

Penyebaran pesan  melalui iklan, secara relatif menelan biaya dari GDP sehingga menyeebabkan  perubahan yang cukup signifikan dalam pemilihan media. Di Amerika misalnya, pada tahun 1925 media iklan yang utama adalah surat kabar., majalah, nyala lampu trem,dan poster-poeter. Advertising menghabiskan anggaran sekitar 2,9% dari GDP. Sejak 1998, televisi dan radio menjadi media perikanan yang utama dan menghabiskan dana dari GDP yang lebih rendah, sekitar 2,4%.

Dilihat dari tujuan, penyajian sampai ke anggaran yang dibelanjakan iklan mengalami kemajuan yang sangat pesat.

Saat ini terdapat Perusahaan Periklanan Terbesar Di Dunia, perusahaan tersebut adalah:

  1. WPP Group plc (UK)
  2. Omnicom Group Inc. (US)
  3. The Interpublic Group of Companies, Inc. (US)
  4. Publicis Groupe S.A. (FR)

Urutan largest in term of billing dan besarnya network saling kejar-mengejar. Jadi mungkin tahun ini WPP, tahun depan Omnicom tahun depan berganti lagi antara 3 conglomerate. Sedang Publicis menempati posisi ke empat.

Masing-masing mempunyai perusahaan  dengan berbagai expertise di bidang komunikasi, Advertising Agency, Media Service, Marketing Branding Strategy, PR, CRM, Corporate ID/Brand, Direct Marketing, Event, Sales Promotion, you name it.

Anak-anak perusahaannya di tiap-tiap grup yang ada di Indonesia tidak diketahui pasti kecuali WPP, tapi jika diperkirakan, petanya seperti berikut ini:

WPP Group plc :
Bates, Young & Rubicam, J Walter Thompson(JWT), Landor Associates, Ogilvy & Mather Group (termasuk One, PR, Interactive dll), MindShare etc

Omnicom Group Inc. :
BBDO Worldwide, DDB Worldwide, TBWA Worldwide

The Interpublic Group of Companies, Inc. :
McCann-Erickson WorldGroup, FCB Group, Lowe & Partners Worldwide

Publicis Groupe S.A. :
Publicis Worldwide, Leo Burnett Worldwide, Saatchi & Saatchi Worldwide, Fallon Worldwide and 49%-owned Bartle Bogle Hegarty (BBH), Starcom MediaVest Group, ZenithOptimedia.

Khusus untuk WPP, dari direktori di websitenya di dapat perusahaan-perusahaan di Indonesia yang termasuk dalam grup ini:

1. Bates Asia – Indonesia
2. Dentsu, Young & Rubicam – Jakarta, Matari-Dentsu Young & Rubicam
3. J Walter Thompson – Jakarta, Adforce
4. Landor Associates – Jakarta
5. Maximize – Jakarta
6. Mediaedgecia – Indonesia
7. MindShare – Jakarta
8. Motivator – Jakarta
9. Ogilvy & Mather – Jakarta, Ogilvy & Mather
10. Ogilvy & Mather – Jakarta, Ogilvy Public Relations Worldwide
11. Ogilvy & Mather – Jakarta, OgilvyOne worldwide
12. Ogilvy Public Relations Worldwide – Jakarta
13. OgilvyInteractive – Jakarta, OgilvyInteractive

Tahun 2004 biaya permasangan iklan di Amerika Serikat mencapai sekitar $212 miliar. Sementara belanja iklan di seluruh dunia mencapai lebih dari $414 miliar. Sebuah angka yang luar biasa besar. Sementara accounting firm Pricewaterhouse Coopers menyebutkan, tahun 2010, belanja iklan seluruh dunia akan mencapai lebih dari setengah triliun dolar Amerika Serikat.

Pemasangan iklan saat ini, banyak dilakukan berbagai macam organisasi nirlaba, profesi, pemerintahan dan badan social. Bahkan pembelanja iklan terbesar ke 25 adalah pemerintah Amerika Serikat.

Saat ini, inovasi dunia periklanan semakin berkembang pesat dengan menggunakan metode pendekatan yang tidak biasa, seperti mendirikan panggung di area public, memberi hadiah mobil dalam mempromosikan brand tertentu, dan mengadakan promosi interaktif dimana konsumen bisa merespon dan menjadi bagian saat promosi berlangsung. Hal ini memberi gambaran perkembangan trend periklanan interaktif melalui penempatan produk, voting melalui SMS dan berbagai inovasi lainnya yang menggunakan jaringan internet, seperti MySpace dan media telekomunikasi mutakhir lainnya.

2.3 Legenda Periklanan Dunia

Berikut ini nama-nama beberapa tokoh yang menjadi legenda periklanan dunia selain volney palmer:

Leo Burnett

Leo Burnett Agency, Chicago

Mendirikan biro iklan di Chicago. Filosofi biro iklannya adalah “Gapailah ketinggian, karena dengan cara itu kita tidak akan mengejar segenggam lumpur”. Prinsipnya yang paling terkenal adalah “Ide Besar”. Menurutnya setiap kampanye harus mengandung ide yang Akan bertahan selama bertahun-tahun dan memisahkannya dengan hal yang lain. Beberapa karya periklanan Burnett bersumber pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Rooser Reeves (1910-1984)

Ted Bates & Co, New York

Tokoh periklanan pada tahun 1950-an di biro iklan Ted Bates New York. Ia menerbitkan buku “Reality in Advertising” di tahun 1961 semasa aktif di Ted Bates dan menjadi best-seller. Teorinya yang paling terkenal di dalam periklanan adalah USP atau biasa disebut “ Unique Selling Proposition“ dan mengantarkan Rosser Reeves menjadi terkenal di bidang periklanan. Ia menggambarkan USP di (dalam) tiga komponen yang mengedepankan prinsip dari teknik menjual agresif. Menurutnya tugas iklan adalah memasukkan merek sebanyak mungkin kedalam kotak mental, dengan cara menjual ciri khas dari produk tersebut.
Bill Bernbach (1911-1982)

Doyle Dane Bernbach, New York

” Aku memperingatkan kamu untuk melawan terhadap kepercayaan bahwa iklan adalah suatu ilmu pengetahuan ” Bernbach memimpin revolusi periklanan pada dekade 1960-an dan menjadikannya salah satu kekuatan kreatif paling berpengaruh di dalam sejarah periklanan.  Di biro iklan Doyle Dane Bernbach (DDB) New York, ia mempelopori iklan yang dibuat lebih jenaka, lebih cerdas dan kadang sangat tidak sopan.
Ia adalah seorang Adman yang banyak mengilhami orang lain. Setelah kematian Bernbach pada Oktober 1982, prinsipnya berdampak lebih besar pada kultur Amerika dibanding para Adman lain yang telah lahir 133 tahun sebelumnya”
16 tahun kemudian, Dampak Bernbach berlanjut dan tidak berkurang. Ia dianugrahi daftar kehormatan Iklan abad 20 sebagai orang yang paling berpengaruh dalam periklanan. Pengaruhnya masih hidup dan relevan untuk membantu memberi petunjuk untuk industri periklanan sampai abad 21.
Bagi penulis naskah dan pengarah seni muda yang masih berkembang harus mempelajari kampanye klasik Bernbach karena banyak dari apa yang diyakininya telah menjadi “hukum kreatif” bagi orang-orang iklan.
Prinsipnya yang palig terkenal adalah menempatkan iklan sebagai sebuah seni bukan ilmu pengetahuan.” Iklan bukan suatu ilmu pengetahuan, Iklan adalah bujukan. Dan bujukan adalah suatu seni.” – Bill Bernbach
David Ogilvy (1911-1999)

Ogilvy & Mather Worldwide, New York

Ogilvy adalah Adman yang terkenal di dunia. Ia adalah raksasa di dalam bisnis periklanan selain nama besar Bill Bernbach, Leo Burnett, Ted Bates, Rosser Reeves dan raksasa periklanan lain dalam bisnis itu.

Pesaingnya Ed Ney, yang memimpin Young & Rubicam mengatakan:
“Ia mahluk cerdas yang sangat Kompetitif. Ia membawa gaya kepada bisnis periklanan. Bernbach OK, tetapi David adalah terbaik dari yang terbaik”
Di tahun 1975, dia disebut sebagai “ahli sihir yang paling dicari di dalam industri periklanan.”

David menjadikan bisnis periklanan sangat menarik dan mengundang banyak orang cerdas kedalamnya. Bukunya Confessions of an Advertising Man adalah buku paling laris yang diterbitkannya di tahun 1962, dan diterbitkan kembali di inggris lebih dari 40 tahun kemudian. Buku itu telah mempengaruhi pandangan dari banyak orang tentang bisnis periklanan.

Pendiri biro iklan Ogilvy & Mather ini filosofinya banyak didasarkan pada hasil riset. Prinsipnya yang paling kontroversial dan jadi perdebatan adalah “tidak seorangpun akan membeli sesuatu dari seorang pelawak atau komedian dan bahwa tulisan putih di atas latar belakang hitam akan sulit dibaca”. Namun prinsipnya bahwa “konsumen itu bukan orang yang bodoh, ia adalah istri anda” merupakan prinsip yang sulit terbantahkan.

John Hegarty

Bartle Bogle Hegarty, New York

Menciptakan kampanye iklan legendaris : levis, lego, audi
John yang bertubuh mungil dan ceking, bersama teman-temannya mendirikan BBH di tahun 1982 dan semenjak saat itu merebut serangkaian penghargaan kreatif. Menurutnya untuk membuat iklan yang baik craftsmanship merupakan hal yang penting karena saat ini kita hidup di budaya visual. Orang lebih peduli pada pencitraan dibanding masa sebelumnya. Cara kita berbusana, dalam hal yang kita kerjakan, bahkan makan. Semuanya bersifat visually driven. Orang mengambil keputusan berdasarkan visual.

Pakar periklanan Amerika ini juga menyebutkan, globalisasi membuat produk-produk memiliki kualitas yang hampir serupa. Sekarang industri lebih banyak bersaing dengan menyentuh emosi dan gengsi konsumen. Hegarty mengatakan, saat ini konsumen membeli barang bukan karena keunggulannya tapi karena produk tersebut membuat sang konsumen percaya, merasa yakin, dan jatuh cinta. Itulah yang disebut dengan Emotional Selling Proposition

Jean Marie Dru

TBWA Worldwide

Disturbtion adalah pendekatan revolusioner terhadap periklanan yang dikembangkan oleh Jean Marie Dru dari biro iklan TBWA Worldwide. Ia mengatakan jika perusahaan tidak menciptakan perubahan maka perubahanlah yang akan menciptakan mereka. Dru percaya bahwa iklan harus mengganggu kenormalan yang dapat diprediksi, sehingga dapat masuk ke dalam koteks yang sama sekali baru

Jay Chiat

Chiat/Day, California

Pendiri biro iklan Chiat/Day yang sangat berpengaruh di California, dan berhasil mengangkat derajat biro iklan yang tidak berlokasi di Madison Avenue.

Jay adalah sosok yang mempesona, menghebohkan dan memiliki daya juang tinggi. Salah satu ungkapannya yang terkenal adalah “How big can we get, before we get bad ?”.

SEJARAH PERIKLANAN INDONESIA

Berawal dari Gerobak Sapi

Pada tahun 1930an, banyak poster dan papan reklame ditempel pada panel samping gerobak sapi yang hilir mudik mengangkut barang. Pada masa itu, kebanyakan papan reklame dicetak diatas lembar plat seng atau logam yang cukup tebal. Banyak pula yang dilapis enamel agar tahan lama. Setelah tahun 1948, ketika bahan ”ajaib” yang bernama scothlite ditemukan banyak pula papan reklame yang menggunakan scothlite tadi karena mampu memantulkan cahaya dengan efek mengagumkan. Plat-plat seng reklame itu kini merupakan kolekters item yang berharga di pasar benda-benda antik. Ketika itu, produk yang paling banyak diiklankan melalui media luar ruang bergerak (moving outdoor media) antara lain adalah produk-produk ban sepeda dari goodyear dan michelin, produk sabun dan tapal lidi dari unilever, limun (soda pop) merek regional, dan produk rokok dari berbagai produsen, termasuk cerutu impor. Media opportunity pada waktu itu memang sangat terbatas, tetapi orang-orang periklanan sudah sangat kreatif menggunakan setiap peluang yang ada-termasuk media tradisional.

Belum terbayangkan ketika itu bahwa jauh di kemudian hari kreativitas iklan telah melahirkan berbagai media untuk menempatkan iklan diluar ruang. Transit advertising telah menjadi sub bisnis besar dalam periklanan. Sisi-sisi bus dan kendaraan umum dipasangan panel iklan, atau spanduk yang ditarik pesawat terbang rendah, bahkan penutup velg roda (hubcaps) maupun lampung punggung taksi. Tetapi, gajah di thailand yang sejak dulu sering ”ditempeli” papan iklan, sampai di zaman modern ini pun masih menjadi media iklan yang efektif. Surat kabar, tentu saja, merupakan media yang juga populer di indonesia sejak pertengahan awal abad ke 19. tetapi, berdasarkan kriteria umumnya sebetulnya iklan surat kabar sudah hadir di indonesia sejak tahun 1621 ketika gubernur jenderal Jan Pieterszon Con (1619-1629) menerbitkan Memorie De Nouvelles pamflet informasi semacam surat kabar yang memuat berbagai berita dari pemerintah hindia belanda, khususnya yang menyangkut mutasi dan promosi para pejabat penting di kawasan ini. Pamflet ini berupa tulisan indah (silografi) yang diperbanyak dengan mesin cetak temuan Johannes Gutenberg (1445).

Berita-berita yang dimuat itu sebetulnya merupakan iklan karena pemuatannya di Memorie De Nouvelles sepenuhnya di biayai oleh pemerintah hindia belanda. Sekalipun sangat berbau perbenturan kepentingan (conflict of interest, bahasa masa kini = KKN), tetapi sang gubernur jenderal Con adalah juga penerbit media itu dan sekaligus memiliki reclame Bureau yang megatur pemuatan ”berita di pamflet itu”. Con juga memakai Memorie de Nouvelles untuk memuat ”berita dengan pesan khusus ” untuk melemahkan daya saing peniaga portugis di kawasan maluku. Tentu saja, ada VOC dibelakang siasat perang dagang itu. Pada tahun 1744, terbitlah surat kabar pertama yang memakai teknologi cetak tinggi, dengan (plat cetak dari timah) di nusantara. Namanya : Bataviaasche Nouvelles. Tetapi, surat kabar yang juga disponsori oleh pemerintah hindia belanda pada masa gubernur Jenderal Gustaav Willem Baron Van Imhovv itupun sebetulnya lebih merupakan lembaran iklan karena memang lebih banyak menampilkan iklan dan dibiayai hampir sepenuhnya oleh pendapatan iklan pula. Maklum, surat kabar pada waktu itu hanya bertiras paling banyak hanya 2500 eks. Sehingga penghasilan sirkulasinya tentulah sangat sedikit.

Dari berbagai surat kabar yang terbit di jakarta, bandung, semarang, surabaya, makasar, manado, dan medan pada pertengahan abad ke 19, dapat dilihat hadirnya berbagai iklan barang dan jasa yang memenuhi halaman-halaman media cetak. Beberapa nama koran besar di masa itu antara lain adalah: Bataviaasch Nieuwsblad, Nieuws van de Dag, Java Bode (batavia), Preanger Bode (Bandung), De Locomotief (semarang, semula Samarangsche Nieuws en Advertentieblad), Nieuwe Vorstenlanden (solo), Soerabaiasche Courant (Surabaya, semula Oostpost), Makassararsche Courant (makasar), Tjahaja Siang (manado), Sumatra Post (Medan), dan Soematra Bode (padang).

Selain itu, telah mulai hadir pula berbagai surat kabar dalam bahasa melayu (sebelum kemudian menjadi bahasa indonesia sejak 1928.) surat kabar berbahasa melayu yang populer pada masa itu antara lain adalah Medan Moeslimin, Medan Prijaji, Sinar de Jawa, Sinar Terang, dan Soerat Kabar Minggoean. Kebijaksanaan kontrol informasi yang diterapkan sangat ketat oleh pemerintah hindia belanda pun membuat surat kabar tidak dapat menjalankan fungsinya secara penuh sebagai lembaga pemberita. Peran pers indonesia sebagai alat politik baru muncul pada awal abad ke 20 seiring dengan kegerakkan kebangkitan nasional dan lahirnya ordonasi pers yang mengatur pembredelan surat kabar.

Di zaman ”kuda gigit besi” itu, ikaln-iklan juga ramai diudarakan melalui radio, diproyeksikan di gedung bioskop dan ditampilkan melalui pertunjukan keliling (mobil propaganda) mirip tukang obat yang hingga kini masih banyak dijupai di berbagai kota kecil. Iklan radio sebetulnya mash merupakan sebuah novelty pada  awal bad ke-20 setelah radio commercial pertama dikumandangkan oleh stasiun WEAV di New York City pada 28 Agustus 1922. Sebuah perusahaan real estate di Quinsboro membayar US  $50 untuk penyuaran pesan komersial selama 5 hari.

Adventertie poenza kaperloean soedah kentara , kerna advertentie perloenja boeat perkenalken barang-barang dagangan kita ada publiek. Kaloe barang jang kita dagangken tidak dikenal, bagaiman bisa dapatken pembeli

Liem Kha Tong

Sebelum iklan hadir di radio, pesan komersial sudah lebih dulu hadir melalui saluran telepon. Pada tahun 193, perusahaan telepon di Hongaria ”menjual spot 12 detik di antara musik dan berita yan dipanarkan lewat telepon dengan tarif sekitar US $0.50. Perusahaan telepon AT&T di Amerika Serikat juga pada awal abad ke-20 menerima pesan-pesan komersial yag dipancarkan melali cara call broadcasting ini.

Di Indonesia, radio sudah dikenal sejak awal abad ke-20. Tidak lama setelah Guglielmo Marconi menemukan gelombang suara dan mengembangkannya menjadi alat komunikasi yang bernama radio telegrafik, dan keudian berkembang lagi menjadi pemancar dan penerima gelombang radio. Radio Nederland WERELDOMROEP yang memancarkan siarannya ke seluruh dunia sejak taun 1920-an. Merupakan pemancar yang paling digemari kaum elite, khususnya orang-orang belanda di Indonesia pada waktu itu.

Akan tetapi, radio swasta baru muai hadir cikal bakalnya di Indonesia sejak akhir tahun 1960-an, yitu sejak tumpasnya pemberontakan G30 S/PKI. Sebelumnya, di Indonesia hanya dienal RRI yang telah mengudara sejak tahun 1945. RRI sendiri dapat dirunut sejarahnya sejak stasiun radio bentukan pemerintah Hindia Belanda yang dikendalikan oleh tentara pendudukan jepang.

Pada awalnya, beberapa mahasiswa di Bandung secara iseng-iseng mengudara dengan pemancar sederhana berkekuatan rendah. Pada waktu itu mereka menyebutnya sebaga radio amatir sebuah istilah yang salah kaprah kaena engertian amateur radio menjeaskan kegiatan yang berbeda dengan teknologi radio dua arah.

Kata “amatir” disini agaknya dipakai sebagai antonym dari “professional.” Stasiun-stasiun radio “amatir” ini meruakan bagian dari perlawanan politik kaum muda terhadap sisa-sisa PKI. Sebelumnya, mereka juga telah melakukan perlawanan dengan membentuk lascar dan batalyon, seperti LAskar Arif Rachman Hakim yang merupakan  onderboue dari KAMI. Maka, lahirlah radio ARH dan radio-radio semacam itu di Indonesia.

Gerakan itu dengan  cepet menyebar ke Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Radio Prambors kini telah mengembangkan jejarinnya dengan beberapa anak perusahaan stasiun radio yang masing-masing memiliki pasar khas di jalan Borobudur, Jakarta Pusat, juga dapat dirunut sejarahnya pada periode itu.

Kehadiran radio-radio ”Amatir” itu segera mendapat lirikan para pengiklan yang memang sedang membutuhkan media alternatif. Salah satu perintis pengguna radio ”amatir” di Indoesia sebagai  media iklan adalah Ajino  moto. Embanjirnya iklan di radio kemudian meningkatkan profesionalisme para pengelola radio ”amatir” apalagi karena pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan pemerintah no.55 tahun 1970 yang ewajibkan semua stasiun radio siaran niaga dipayungi dalm wadah badan hukum berbentuk PT. Sejak saat itu, istilah ”radio amatir” berubah menjadi  ”radio siaran swasta niaga”.

Perintis Periklanan Indonesia

Sejarah memang membuktikan bahwa iklanlah yang mengembuskan nafas awal bagi kehidupan surat kabar di Indonesia. Pada masa-masa awal keidupan pers Indonesia dan keadaan ini berlanjut hingga awal abad ke-20 surat kabar tidak lain adalah advertentieblad (media iklan) belaka. koran (dari bahasa Belanda: het krant, dan dari bahasa perancis: courant ), sebagian besar isi beritanya adalah iklan tentang perdagangan, pelelangan, dan pengumuman resmi Pemerintah Hindia Belanda. Sesuai dengan khalayaknya, iklan disurat kabar menampilkan produk-produk yang merupakan konsumsi kelas atas. Misalnya, sebuah toko P&D (provisien en dranken= kebutuhan makanan dan minuman) yang mengumumkan datangnya kapal dari Negeri Belanda membawa mentega dan stok keju baru. Cerutu dan bir juga merupakan komoditas impor di masa itu, dan sering muncul diiklankan di surat kabar. Pada masa itu, mobil malah jarang muncul di iklan surat kabar. Mungkin karena masih merupakan seller’s market dan pembeli mobil malah harus antre sebelum mobil yang dipesan didatangkan dari negri jauh. Berbeda sekali dengan kondisi pasar kendaraan bermotor yang sangat kompetitif di masa sekarang.

Pada awal abad ke-20 perusahaan terbesar pada saat itu, Aneta, mendatangkan tiga orang tenaga spesialis periklanan dari Negeri Belanda. Mereka adalah: F. Van Bemmel, Is van Mens, dan Cor van Deutekom. Mereka didatangkan atas sponsorship BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij, perusahaan minyak terbesar saat itu) dan General Motors yang perlu mempromosikan produk-produk mereka. Van Bemmel kemudian ditawari pekerjaan oleh pemilik surat kabar De Locomotief di Semarang unuk mendirikan sebuah perusahaan periklanan. Tidak lama kemudian, Van Bemmel pun hengkang dari perusahaan yang dirintisnya itu, dan kemudian mendirikan sendiri sebuah perusahaan periklanan bernama NV Overzeesche Handelsvereniging untuk menangani berbagai produk impor seperti mobil dan sepeda. Van Bemmel hanya perlu bekerja selama 10 tahun di Indonesia, dan pulang kembali ke Negeri Belanda untuk membangun sebuah Bank dari hasil keuntungan yang diraupnya selama berusaha di Indonesia. Pada masa perintisan periklanan Indonesia, hampir semua perusahaan periklanan merupakan afiliasi perusahaan media sesuatu yang di masa sekarang justru dianggap sebagai perbenturan kepentingan. Pemilik surat kabar Java Bode, misalnya, juga memilki sebuah perusahaan periklanan HM van Drop yang diawaki oleh seorang bernama C.A Kruseman. Ia dianggap sebagai salah seorang perintis dalam periklanan di Indonesia.

Menjelang akhir abad ke-19 perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki dan dikelola oleh Cina keturunan mulai bermunculan. Resesi ekonomi yang melanda dunia tahun 1890 rupanya berdampak sangat buruk bagi dunia usaha. Termasuk banyak percetakan pers milik orang-orang Belanda. Peluang inilah yang ternyata mampu dimanfaatkan oleh kelompok Cina keturunan. Pelopor periklanan dari kelompok ini adalah Yap Goan Ho, yang memiliki perusahaan periklanan sendiri di Batavia. Yap Goan Ho sebelumnya adalah seorang copywriter di perusahaan periklanan De Locomotief. Perusahaan periklanannya diberi nama Yap Goan Ho, mulanya dikontrak olah suratkabar berbahasa Melayu, Sinar Terang (terbit 1888-1891). Perusahaan periklanan ini hanya bertahan tiga tahun, akibat bangkrutnya surat kabar Sinar Terang.

Iklan-iklan yang ditangani Yap Goan ho kebanyakan untuk produk buku. Khususnya yang diterbitkan untuk masyarakat Cina. Setelah ditutupnya Sinar Terang, Yap Goan Ho kembali berusaha mengembangkan sendiri perusahaan periklanannya. Untuk itu dia mengumpulkan modal dari bekerja mencari iklan bagi beberapa suratkabar. Dia mengkhususkan diri pada iklan-iklan pelelangan barang milik para pejabat Belanda. Kebanyakan barang-barang milik para pejabat yang akan mengakhiri masa jabatannya di Hindia Belanda. Iklan-iklan pelelangan ini utamanya ditujukan pada khalayak pribumi, dan sebagian besar dimuat di suratkabar De Locomotief. Tokoh Cina keturunan lain adalah Liem Bie Goan. Seperti juga Yap Goan Ho, perusahaan periklanan Liem Bie Goan juga dikontrak oleh suratkabar. Suratkabar yang mengontraknya adalah Pertja Barat yang terbit di Padang tahun 1890-1912. Iklan yang menonjol dari perusahaan periklanan ini adalah produk pecah belah. Khalayak sasarannya adalah penduduk Eropa yang tinggal di Hindia Belanda.

Dari luar Jawa tercatat juga nama Kadhool sebagai tokoh lain periklanan. Seperti Yap Goan Ho, dia juga mantan penulis naskah di perusahaan periklanan De Locomotief. Kadhool sekolah di Hwee Koan, Cina. Perusahan periklanannya bernama Firma Tie Ping Goan, namun dikelola dan dimiliki sendiri oleh Kadhool. Tidak ada catatan mengapa nama perusahaan periklanan ini tidak menggunakan namanya. Di duga, Tie Ping Goan adalah nama lain dari Kadhool. Iklan-iklan Tie Ping Goan umumnya dipesan oleh suratkabar Tjaja Sumatra yang terbit dari tahun 1899-1933 di Sumatera Timur (sekarang Riau). Produk-produk yang ditangani perusahaan periklanan Kadhool kebanyakan hotel-hotel di sekitar Bandung. Bagi masyarakat Belanda masa itu, daerah Bandung dikenal sebagai Parisj van Java (Paris-nya Pulau Jawa), sehingga menjadi tempat peristirahatan sangat bergengsi bagi para pengusaha perkebunan Eropa yang tinggal di Sumatera. Tie Ping Goan bertahan hingga terjadinya depresi ekonomi tahun 1930. Rintisan yang banyak dilakukan oleh kelompok Cina keturunan ini, menurut F. Wiggeres yang menulis dalam Pemberita Betawi, 1909, karena merekalah yang sangat mementingkan perdagangan. Untuk dapat lebih berhasil, kata Wiggeres pula, perdagangan tidak bisa lepas dari kebutuhan periklanan. Orang pribumi yang memiliki percetakan dan suratkabar, baru pada tahun 1906 dengan munculnya NV Medan Prijaji. Tiras suratkabar yang dipimpin oleh RM Tirto Adisoerjo ini utamanya beredar di Batavia, Bogor dan Bandung. Suratkabar ini sebenarnya punya misi politik, karena banyak memuat berita-berita tentang kebobrokan sistem kolonial. Dia sekaligus memberi juga perlindungan hukum bagi kaum pribumi. Namun untuk menjaga kelangsungan hidupnya, ia memerlukan juga perusahaan periklanan. Orang yang mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji adalah Raden Goenawan.

Raden Goenawan, lulusan HIS (Holland Inlandsche School), Batavia, menjadi teman dekat Tirto Adisoerjo sejak di sekolah itu. Selain dalam jabatan tersebut, Adisoerjo dan Raden Goenawan juga merangkap bersama-sama menangani bidang percetakan Medan Prijaji. Suratkabar ini mereka beri nama kecil Surat Kabar Minggoean dan Advertentie.Raden Goenawan juga pernah bekerja di perusahaan periklanan NV Soesman’s yang berkedudukan di Batavia. NV Soesman’s banyak mengiklankan penyediaan tenaga kerja pendatang dari Jawa ke Sumatera Timur.

Raden Goenawan mengelola perusahaan periklanan Medan Prijaji sejak berdirinya tahun 1906. Meskipun hanya mampu bertahan hingga tahun 1912, Medan Prijaji tercatat memperoleh keuntungan sebesar f.75.000 pada tahun terakhir hidupnya.

Tokoh periklanan pribumi yang sangat patut diperhitungkan adalah Tjokroamidjojo. Dia memimpin NV Handel Maatschppij dan Drukkerij “Serikat Dagng Islam”, Semarang, yang menerbitkan suratkabar Sinar Djawa. Suratkabar ini merupakan suratkabar pribumi yang dapat bertahan agak lama (1914-1924). Karir Tjokroamidjojo dimulai dengan bekerja sebagai pembantu redaksi di suratkabar De locomotief pada tahun 1906. Kemudian menjadi penulis naskah iklan di suratkabar Pemberita Betawi. Pada tahun 1908 dia mendirikan perusahaan batik di Pekalongan. Dari hasil perusahaan batik ini, dia membeli perusahaan penerbitan dan percetakan di Semarang. Perusahaan periklanan Sinar Djawa tercatat sebagai satu-satunya perusahaan periklanan di Hindia Belanda yang mempunyai “agen besar” (perwakilan) untuk benua Eropa dan Amerika. Perwakilan ini berkedudukan di Societie Europeenne de Publicitie, 10 Rue de la Victoire, Paris. Fungsi perwakilan ini pun cukup efektif dan bersifat timbal-balik. Yang utama adalah untuk menangani komoditas impor dari Eropa dan Amerika. Namun juga untuk mengiklankan tour keliling Jawa dengan kereta api, ataupun hotel-hotel Eropa di Hindia Belanda. Laba usaha Sinar Djawa mengalami pasang surut. Merosot pada tahun 1915-1916, akibat terkena dampak Perang Dunia I, sehingga hanya mencapai f. 25.000 pada periode ini. Padahal pada tahun sebelumnya telah mencapai f. 45.000. Sepanjang kepemimpinan Tjokroamidjojo hingga tahun 1924, Sinar Djawa berhasil menggaet total keuntungan senilai f. 200.000,-.

M.Sastrositojo adalah pemilik dan pengelola perusahaan periklanan NV Medan Moeslimin. Perusahaan periklanan ini mengkhususkan diri pada iklan-iklan produk buku, terutama buku-buku yang dicetak oleh Albert Rusche & Co.. Buku-buku yang diiklankannya pun khusus beraksara Jawa. Kebijaksanaan mengkhususkan pada iklan-iklan buku ini dilakukan, untuk menyesuaikan diri dengan suratkabar Medan Moeslimin yang memang dikhususkan untuk pembaca orang Jawa yang baru melek huruf. Itu pun terbatas pada bacaan yang menggunakan aksara Jawa. Misi yang diemban Medan Moeslimin tampaknya tidak dapat sepenuhnya ditunjang dari penghasilan usaha periklanan. Karena tercatat adanya dukungan keuangan dari beberapa perusahaan batik di Solo. Salah satu pendukung utama keuangannya adalah perusahaan batik milik Hadji Misbach. M. Sastrositojo adalah lulusan HIS, yang kemudian magang selama 2 tahun di perusahaan periklanan NV Doenia Bergerak, sebagai penulis naskah iklan.

Perusahaan Periklanan Perintis

Salah satu perusahaan consumer products yang aktif beriklan pada masa itu adalah Unilever-amalgamasi perusahaan Margarine Union (Belanda) dan Lever Brothers (Inggris)- yang sejak tahun 1933 telah membangun pabrik sabun di Bacherachtsgracht, Batavia (sekarang Angke, Jakarta Barat). Setelah berdirinya pabrik sabun itu,Unilever juga membangun pabrik margarin. Sebelumnya, produk-produk Unilever diimpor langsung dari Negeri Belanda. Hadirnya Unilever juga kemudian membawa masuknya cikal bakal Lintas (singkatan dari Lever International Advertising Services) ke Nusantara. Semula, Lintas adalah divisi periklanan dari Lever Brothers, sebelum kemudian berdiri sendiri menjadi perusahaan periklanan independen. Apa yang dilakukan Lintas yang berlogo bola dunia pada masa-masa awal itu sebetulnya tidak lain adalah melakukan adaptasi bentuk-bentuk iklan yang telah mereka luncurkan terhadap produk-produk serupa di bagian dunia lainnya, serta melakukan media placement. Perlu dicatat bahwa Lintas pada saat itu sudah memiliki keberanian membuat iklan dalam bahasa daerah. Misalnya, iklan Margarine Blue Band dalam bahasa Sunda memakai judul ”Pamoeda Sehat… Rajat Kiat” (Pemuda Sehat…Rakyat Kuat), dengan tagline ”Blue Band Mengandoeng Seueur Vitamin” (Mengandung Banyak Vitamin).

”Model organisasi” seperti Lintas itulah yang agaknya kemudian ditiru oleh beberapa usahawan di Batavia dan kota-kota besar Indonesia lainnya. Sebelum masa kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa perusahaan periklanan (ketika itu disebut reclamebureau atau advertentiebureau) sudah beroperasi di Indonesia. Hingga masa pendudukan Jepang, beberapa perusahaan periklanan ynag terkenal di Jakarta adalah, antara lain:

–          A de la Mar, di Koningsplein (sekarang Jalan Medan Merdeka Utara, dekat Istana Merdeka),

–          Aneta (sebagai bagian dari kantor berita bernama sama), di Passer Baroe (sekarang Museum LKBN Antara di Jalan Antara),

–          Globe, di Jalan Kali Besar Timur,

–          IRAB (Indonesia Reclame en Advertentiebureau), semula berkantor di Molenvliet (sekarang Jalan Hayam Wuruk), tetapi kemudian pindah ke Asem Reges (kemudian menjadi Sawah Besar, sekarang Jalan KH Samanhudi),

–          Preciosa, di Gang Secretarie (kantor Sekretariat Negara sekarang, Jalan Veteran IV ),

–          Elite

Hampir semua perusahaan periklanan itu dipimpin oleh orang-orang Belanda, kecuali IRAB dan Elite yang diselenggarakan oleh kaum Bumiputra. Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan lanskap periklanan Indonesia. Karena banyak warga Belanda yang mengungsi-sebagian lagi ditawan maka kondisi vakum itu diisi dengan munculnya berbagai perusahaan periklanan baru milik kaum pribumi. Sayangnya, tidak cukup catatan tentang kehadiran perusahaan periklanan yang dijalankan etnis Tionghoa. Padahal, dari mulut ke mulut kita sering mendengar bukti-bukti peran mereka dalam perintisan periklanan Indonesia. Yang jelas, etnis Tionghoa sangat berperan dalam menumbuhkan dunia persuratkabaran di Indonesia, sehingga dengan demikian dapat dilihat pula keterlibatan mereka dalam periklanan secara langsung maupun tidak. Sekalipun kebanyakan perusahaan periklanan baru itu berukuran kecil, tetapi tercatat lima perusahaan periklanan yang berskala cukup besar, yakni Elite, RAB, Korra, Pikat, Tandjoeng. Selama masa pendudukan Jepang, merosotnya aktivitas ekonomi ikut mengkerdilkan dunia periklanan Indonesia. Setelah proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kepercayaan kepada Republik yang muda ini tampak dengan kembali bergairahnya kehidupan perekonomian. Sayangnya, kecenderungan itu tidak berlangsung lama karena Belanda mulai menggelar aksi militernya terhadap Indonesia. Keadaan perekonomian pun redup kembali. Pemerintah Republik Indonesia sempat hijrah ke Yogyakarta selama empat tahun. Keadaan ini berakhir setelah dicapainya kesepakatan pengakuan kedaulatan dalam KMB pada akhir tahun 1949.

Kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Jakarta menandai kebangkitan baru perekonomian Indonesia. Perusahaan-perusahaan nasional mulai bertumbuhan, seiring dengan masuknya kembali beberapa perusahaan multinasional. Perusahaan-perusahaan Belanda yang semula mengungsi, pun kembali lagi melakukan usahanya. Salah satunya adalah Unilever. Era baru itu juga disambut oleh Unilever dengan meluncurkan berbagai produk baru. Dunia periklanan seakan berdarah kembali. Beberapa perusahaan periklanan yang tercatat hadir di Jakarta pada masa itu antara lain adalah: Azeta, Contact, Cotecy, De Unie, Elite, IRAB, Studi Berk, dan Titi. Pada awal dasawarsa 1950’an yang paling banyak ditempatkan di dunia cetak adalah iklan obat-obatan. Sayangnya, menjamurnya iklan obat-obatan itu tidak dibarengi dengan etika dan tanggung jawab para insan periklanan. Banyak obat-obatan yang diiklankan itu sebetulnya diragukan manfaatnya, atau malah membahayakan kesehatan penggunanya. Keadaan yang nyaris lepas kendali ini akhirnya ditata dengan terbitnya ketentuan Menteri Kesehatan pada tahun 1954 yang mengatur keharusan untuk mendapatkan lisensi manfaat dan keselamatan obat sebelum dipasarkan, dan ketentuan agar iklan obat harus menjelaskan manfaat obat secara jelas.

Kebangkitan Asosiasi Periklanan Indonesia

Menurut catatan, pada tahun 1951, istilah periklanan pertama kali diperkenalkan oleh seorang tokoh pers indonesia, Soedarjo Tjokrosisworo, untuk menggantikan istilah reklame atau advertensi yang ke belanda-belandaan. Senapas dengan semangat kebangsaan itu, sebuah biro reklame di bandung yang sebelumnya bernama Medium, juga mengubah nama menjadi Balai Iklan. Atas prakarsa beberapa perusahaan periklanan yang berdomisili di Jakarta dan Bandung, pada awal September 1949 dilembagakan sebuah asosiasi bagi perusaaan-perusahaan periklanan. Asosiasi ini diberi nama Bond van Reclamebureaux in Indonesia atau dalam bahasa indonesia Perserikatan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama asosiasi yang masih menggunakan bahasa Belanda ini tidak lain karena mayoritas anggotanya adalah memang perusahaan-perusahaan periklanan yang dimiliki oleh orang Belanda.

Sebelas perusahaan periklanan tercatat sebagai anggota PBRI, yaitu: Budi Ksatria, Contact, De Unie, F. Bodmer, Franklijn, Grafika, Life, Limas, Lintas, Rosada, dan Studio Berk. Akan tetapi, kehadiran PBRI dianggap hanya mewakili perusahaan-perusahaan periklanan besar khususnya yang dimiliki atau dikuasai oleh orang-orang Belanda. Perusahaan-perusahaan periklanan kecil merasa bahwa aspirasi mereka tidak memukau jalan untuk disampaikan ke dalam PBRI. Suasana seperti itu kemudian memicu lahirnya sebuah asosiasi perusahaan periklanan nasional yang dimliki dan diawaki oleh orang-orang Indonesia. Serikat Biro Reklame Nasional (SBRN) dibentuk pada tahun 1953, dan sertamerta menjadi organisasi tandingan bagi PBRI. Tidak jelas mengapa semangat nasionalisme di dalam SBRN tidak memunculkan istilah iklan yang sudah dikenal sejak dua tahun sebelumnya, dan masih menggunakan istilah biro reklame yang berbau Belanda. Anggota SBRN yang tercatat adalah 13 perusahaan periklanan: Azeta, Elite, Garuda, IRAB, Kilat, Kusuma, Patriot, Pikat, Reka, Lingga, Titi, dan Trio. Tidak semua perusahaan perilanan bersedia bergabung ke dalam asosiasi. Contonya adalah Medium yang telah bertukar nama menjadi Balai Iklan. Ia memilih untuk tidak bergabung dengan salah satu dari dua asosiasi tersebut. Tjetje Senaputra, pemiliknya berdalih bahwa Balai Iklan tidak menangani iklan display dan karena itu tidak menganggap perusahaan sebagai full-service agency. Balai Iklan memang mengkhususkan diri pada iklan-iklan klasika berukuran kecil tentang lowongan kerja dan berita keluarga.

Ada pula dugaan bahwa terbentuknya SBRN diilhami oleh keterbelahan penerbit surat kabar yang juga memiliki dua asosiasi, yaitu: Perserikatan Persuratkabaran Indonesia (PPI), dan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), PPI merupakan kelanjutan dari Verenigde Dagblad Pers di masa Hindia Belanda. Tentu saja keterbelahan perusahaan-perusahaan periklanan itu membuat prihatin F. Berkhout, Ketua PBRI pada saat itu. Ia kemudian menghubungi beberapa pimpinan SBRN dan mnawarkan dibentuknya fusi atau peleburan dari kedua asosiasi tersebut. Bila tujuannya sama, mengapa harus memakai dua kendraan yang justru menyulitkan pembinaan ke luar maupun ke dalam, di samping juga tidak mencuatkan kesan persatuan.

Gagasan fusi itu tampaknya diterima secara umum oleh kedua belah pihak. Orang-orang Belanda yang semula menguasai berbagai posisi dan fungsi di PBRI sepakat untuk mengundurkan diri agar digantikan oleh orang-orang Indonesia. Tetapi fusi itu secara organisatoris ternyata tidak pernah menjadi kenyataan. Dalam tubuh SBRN terjadi perpecahan, sehingga semua anggotanya mengundurkan diri dan bergabung ke dalam PBRI. Baru pada tahun 1956, melalui forum rapat umum anggota, secara aklamasi Muhammad Napis dikukuhkan sebagai ketua PBRI. Pada tahun 1957, PBRI menyelenggarakan Kongres Reklame seluruh Indonesia yang pertama. Dalam kongres tersebut, kata ”perserikatan” diubah menjadi ”persatuan”.

Awal Artis Memasuki Periklanan Indonesia

Iklan sebgai salah satu alat pemasaran yang ampuh langsung saja berdenyut dengan nafas baru yang segar. Beberapa perusahaan periklanan muncup pada masa ini. Demikian juga media untuk beriklan. Dan periklanan pun menjadi marak. Dasawarsa 1970an juga ditandai dengan tampilanya selebritis Indonesia sebagai bintang iklan. Sabun Lux produksi Unilever boleh jadi merupakan trendsetter di bidang itu. Sejak dasawarsa 1950an, Lux sudah memakai slogan ”dipakai oleh 9 dari 10 bintang-bintang film”. Lux diidentifikasikan dengan bintang-bintang film rupawan berkelas dunia, antara lain : Sophia Loren.

Pada dasawarsa 1970an, slogan itu diubah sedikit menjadi ”sabun kecantikan bintang-bintang film”. Unilever juga mulai memakai bintang-bintang film Indonesia untuk menjadi duta produknya. Widyawati, bintang film populer berpribadi lembut dengan kecantikkan memukau, tampil sebagai spokesperson Lux. Beberapa bintang film papan atas pun silih berganti tampil sebagai ”The Lux Lady”. Salah satu yang legendaris adalah Christine Hakim, bintang film temuan Teguh Karya. Produk detergen bermerk rinso pun memilih Krisbiantoro sebgai duta produk. Kris adalah seorang penyanyi merangkap master of ceremony yang kocak dan menjadi presenter berbagai program televisi populer pada saat itu. Popularitas Krisbiantoro pun serta merts menjadi tuas yang ampuh untuk mendongkrak popularitas rinso.level International Advertising Services (Lintas) perusahaan periklanan yang menganai produk-produk Unilever tidak hanya menumpang popularitas selebritis, melainkan juga melahirkan bintang-bintang baru. Robby Sugara, misalnya, ”hanyalah” seorang head waiter di sebuah restoran ketika terpilih menjadi bintang ”The Brisk Man”. Kehidupannya pun melejit seperti meteor.

Kelahiran Periklanan Modern Indonesia

Berbagai merk internasional mulai bermunculan di Indonesia dan dengan garangnya berupaya meraup pangsa pasar sebesar-sebesarnya. Coca cola, Toyota, Mitsubishi, Fuji Film, American Express, Citibank, adalah sebagian dari nama-nama besar yang mulai membanjiri pasar Indonesia. Pada saat yang sama, muncul pula local brands yang dipicu oleh kemudahan mendapatkan kredit penanaman modal dari lembaga-lembaga perbankan yang juga sedang bertumbuh pesat. Salah satu sektor yang paling hidup pada dasawarsa 1970an itu adalah industri farmasi dengan berbagai jenis obat baru yang diluncurkan pada saat itu antara lain adalah Bodrex-obat sakit kepala yang populer hingga saat ini. Begitu populernya nama Bodrex bahkan sampai dijadikan ikon jurnalistik Indonesia untuk menyebut wartawan yang datang tak diundang.

Suasana baru di dunia usaha itu memicu berbagai kelahiran perusahaan periklanan. Tentu saja, yang pertama kali muncul justru perusahaan-perusahaan periklanan yang secara ilmiah terbawa oleh masuknya perusahaan multinasional ke Indonesia. Contohnya adalah Olgilvy & Mather yang berkibar di Jakarta dengan nama IndoAd di bawah pimpinan Emir Muchtar, karena hadirnya klien-klien O&M di Indonesia, seperti: American Express, dll. Sebelumnya O&M lahir di Indonesia dengan nama SH Benson, kemudian berubah menjadi Olgivy &Mather. Perubahan nama O&M menjadi IndoAd terkait Peraturan Menteri Perdagangan pada tahun 1970 yang melarang perusahaan periklanan asing di Indonesia. Contoh lain adalah McCann Erickson yang dibawa oleh Coca cola dan kemudian mengibarkan bendera Perwanal Utama di bawah pimpinan Savrinus Suardi.

Sementara itu, perusahaan-perusahaan periklanan nasional  lama pun mendapat angin dari transformasi ekonomi yang terjadi. Perusahaan itu antara lain: Bhineka yang dipimpin oleh tokoh lama Muhammad Napis, dan InterVista yang dipimpin oleh Nuradi seorang mantan diplomat yang beralih ke dunia periklanan. InterVista adalah sebuah fenomena yang perlu dicatat secara khusus dalam sejarah periklanan Indonesia, khususnya karena Nuradi, pendirinya, dianggap sebagai perintis periklanan modern Indonesia. Setelah Proklamasi kemerdeaan Indonesia, Nuradi diangkat menjadi pegawai Departemen Luar  Negri, Nuradi bertugas sebagai jurubahasa yang mendampingi Presiden Soekarno. Sebagai karyawan Departemen Penerangan, tugas Nuradi adalah penyiar siaran bahasa Inggris di RRI. Pada tahun 1950, Nuradi ditunjuk untuk menjalankan misi khusus Uni soviet, dan kemudian menjadi anggota Perwakilan Tetap Republik Indonesia di Markas Besar Perserikatan Bangsa-bangsa di New York selama di Amerika Serikat, Nuradi juga sempat menyelesaikan studi di Harvard University.

Perintis periklanan yang bernama Nuradi ini. Lahir di Jakarta, tanggal 10 Mei 1926. Seperti juga banyak pelaku periklanan modern, Nuradi pun tidak memperoleh pendidikan formal di bidang periklanan. Tahun 1946-1948 ia masuk Fakultas Hukum, Universitas Indonesia (darurat). Kemudian masuk Akademi Dinas Luar Negeri Republik Indonesia (1949-1950). Tahun-tahun berikutnya dia banyak mengenyam pendidikan di Amerika Serikat. Dia menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC. Selanjutnya belajar penelitian sosial di New School, New York (1952-1954) dan menyelesaikan studi bidang administrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Kemudian selama setahun belajar bahasa di Universitas Sorbone dan Universitas Besancon, Perancis.Tahun 1945, dia juga dikenal sebagai orang pertama diangkat sebagai pegawai negeri di Departemen Luar Negeri dan di Departemen Penerangan. Yang terakhir ini, karena ia juga menjadi penyiar siaran Bahasa Inggris di Radio Republik Indonesia. Antara tahun 1946-1950, dia menjadi juru bahasa pribadi untuk Bung Karno, Bung Hatta dan Ir. Juanda dan tahun 1949 sempat menjadi kepala bagian penerjemah pada delegasi Indonesia ke Konperensi Meja Bundar di Den Haag, Negeri Belanda. Tahun 1950 dia ditunjuk untuk menjalankan misi khusus ke Uni Soviet dan menjadi anggota perwakilan tetap Indonesia di markas PBB, New York. Karier sebagai pegawai negeri telah membawanya terlibat dalam banyak lagi tugas sebagai anggota delegasi, baik untuk kepentingan nasional, maupun internasional. Dia mengundurkan diri dari Dinas Luar Negeri pada tahun 1957, untuk bergabung dengan Perwakilan PRRI Sementara untuk Singapura dan Hongkong.

Perjalanan hidup Nuradi di dunia periklanan dimulai ketika tahun 1961-1962 mengikuti Management Training Course di SH Benson Ltd., London, perusahaan periklanan terbesar di Eropa saat itu. Sedangkan pengalaman praktek periklanan diperolehnya melalui cabang perusahaan tersebut di Singapura. Sekembalinya ke Jakarta (1963) dia mendirikan perusahaan periklanannya sendiri, InterVista Advertising Ltd..

Pada awalnya, Nuradi hanya mengiklankan produk-produk milik ayahnya (Hotel Tjipajung) dan kenalannya (PT Masayu, agen alat-alat berat). Ia juga membuat iklan untuk usaha milik Judith Wawaruntu, sahabatnya yang secara timbal balik menjadi pembuat gambar untuk iklan-iklan Intervista. Ketika menangani klien Lambretta, merek Scooter masa lalu, Nuradi untuk pertama kali membuat slide untuk iklan di Bioskop. Terobosan ini merupakan awal dari gebrakkan-gebrakkan Nuradi selanjutnya. Pada dasawarsa 1970an, InterVista telah mampu membuat film iklan produksi dalam negri, bahkan memperkerjakan seorang sutradara pribumi untuk menanganinya secara khusus. Tidak heran bila dalam waktu singkat InterVista mendapat kepercayaan dari nama-nama besar seperti, Indomilk, Anker Bir, berbagai merek rokok keluaran British American Tobacco, Vespa dan lain-lain. Beberapa karya iklan InterVista di masa itu, selalu mengundang decak kagum dan menjadi pengingat (mnemonic) dibenak masyarakat, misalnya: Ini Bir Baru, Ini Baru Bir (Anker), Indomilk…..sedaaap, Makin Mesra dengan Mascot (rokok).

Awal dasawarsa 1970an juga ditandai oleh lahirnya berbagai perusahaan periklanan ketika itu lebih umum disebut biro iklan seperti: Libelle pimpinan Yo Wijayakusumah, Trinanda Chandra pimpinan Abdoel Moeid Chandra (juga pemilik radio swasta niaga dengan nama sama), Prima Advera pimpinana Usamah, AdForce pimpinan Sjahrial Djalil, Fortune pimpinan Indra Abidin bekerja sama dengan Mochtar Lubis, Hikmad & Chusen pimpianan H. Hamid Moerni, Metro pimpinan Henry Saputra, Rama Perwira, dan lain-lain.

Berdirinya PPPI

Popularitas The Jakarta Admen Club bahkan melebihi organisasi resmi yang sebetulnya lebih dulu terbentuk pada tahun 1972, yaitu Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)

Seperti telah dikemukakan pada Bab 1, asosiasi perusahaan periklanan yang pertama berdiri di Indonesia pada tahun 1949 dengan nama Bond van Reclame Bureaux in Indonesia atau dalam bahasa Indonesia disebut Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI). Nama resminya justru yang berbahasa Belanda, karena pada waktu itu sebagian besar pelaku di industri periklanan adalah orang-orang Belanda maupun keturunan Belanda. Demikian juga para pengurusnya adalah orang-orang belanda dan keturunannya. Baru setelah PBRI diketuai oleh orang Indonesia, Muh.Napis,maka pada tahun 1957 diputuskan perhgantian namanya resmi menjadi PBRI. Dengan nama baru itu juga dilekukan penyesuaian istilah dari “perserikatan” menjadi “persatuan”.

Napis adalah seorang tokoh periklanan Indonesia yang ternyata berhasil memimpin PBRI secara terus-menerus hingga memasuki dasawarsa 1970-an. Napis sendiri ternyata sudah jenuh menjadi Ketua PBRI selama belasan tahun, dan menganggap bahwa situasi seperti itu dapat mengarah kepada hal-hal yang tidak demokratis.

Pada tahun 1971, Napis menyelenggarakan referendum di antara anggota PBRI untuk memilih ketua yang baru, di samping juga meminta usulan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, serta usulan perubahan kebijakan dan strategi. Namun, ternyata referendum itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Napis tetap secara aklamasi diterima sebagai ketua PBRI.

Pada tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia tiba-tiba merasa perlu untuk mengatur industri periklanan. Harsono yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG) Departemen penerangan, memprakarsai diselenggarakannya Seminar Periklanan-forum nasional resmi pertama yang diselenggarakan di Indonesia untuk membicarakan arah industri periklanan. Seminar ini diseenggarakan di restoran Geliga, Jalan wahid Hasyim, Jakarta Pusat, dengan ketua penyelenggaraan H.G. Rorimpandey, Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang ketika itu juga Pemimpin Umum Harian Sinar Harapan.

(catatan penulis: sebetulnya, Christianto Wibisono yang ketika itu menjadi Direktur Majalah Tempo pada tahun 1971 telah menyelenggarakan sebuah seminar periklanan untuk mendiskusikan dalam menyikapi masuknya elemen asing ke dalam industri perikalanan Industri Indonesia. Tetapi, lingkup seminar ini masih bersifat terbatas di tataran pelaksana periklanan-bukan pengambil keputusan di tingkat asosiasi dan regulator).

Dalam kesempatan itu pemerintah menyatakan bahwa PBRI adalah satu-satunya wadah perusahaan periklanan yang diakui Pemerintah Republik Indonesia. Pernyataan ini tampaknya didorong oleh kenyataan telah hadirnya berbagai perusahaan periklanan yang disponsori pihak asing, dan tidak merasa berkepentingan untuk menjadi anggota PBRI. Sekalipun pada tahun 1970 Menteri Perdagangan Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo telah menerbitkan surat keputusan yang melarang kehadiran perusahaan periklanan asing di Indonesia, namun kenyataannya praktik “Ali Baba” tetap menghadirkan banyak negara asing di industri periklanan Indonesia. Pernyataan Pemerintah itu membuat hampir semua perusahaan periklanan yang baru didirikan sekitar 1970-an kemudian mendaftar-kan diri menjadi anggota PBRI.

Seminar periklanan itu juga memuncukan napas dan harapan baru akan munculnya generasi modern periklanan Indonesia. Keinginan untuk berorganisasi secara serius pun mulai tampak hidup. Napis pun semakin berharap bahwa penggantinya akan segera muncul.

Kebetulan, pada tahun 1972 itu juga berlangsung Asian Advertising Congress (AAC) VIII di Bangkok. Masih dengan semangat Seminar Periklanan, beberapa tokoh periklanan Indonesia pun segera berangkat menghadiri kongres tersebut. Mereka antara lain adalah: Christian Wibisono, Ken Sudarto, Sjahrial Djalil, Ernst Katoppo, Abdul Moeid Chandra, Jacoba Muaja, Usamah, dan Yo Wijayakusumah. Tidak tanggung-tanggung, delegasi Indonesia pada waktu itu secara nekat juga menawarkan diri untuk menjadi tuan rumah AAC IX pada tahun 1974. hebatnya lagi, usulan itu ternyata diterima. Pertumbuhan pesat industri periklanan Indonesia tentulah menjadi faktor pembobot yang menghasilkan keputusan itu.

Semangat untuk menjadi tuan rumah Aac IX itulah yang membuat insan periklanan Indonesia semakin membulatkan tekad untuk berorganisasi secara rapi. Pada tanggal 20 Desember 1972, bertempat di restoran Chez Mario milik Muhammad Napis di jalan Ir. H. Juanda III/23, jakarta Pusat, diselenggarakan Rapat Anggota PBRI.

Rapat itu juga dihadiri Direktur Bina Pers dari Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Departmen Penerangan, Drs. Tjoek Atmadi. Rapat itu mengagendakan pemilihan pengurus baru, serta membahas kemungkinan dibentuknya sebuah asosiasi periklanan dengan visi dan lingkup yang lebih luas.

Abdul Maeid Chandra, seorang putra Madura aktivis PBRI yang memiliki stasiun radio Trinanda Chandra dan perusahaan perilanan dengan nama yang sama, akhirnya terpilih sebagai Ketua Umum. Di jajaran pengurus tercatat beberapa orang tokoh periklanan Indonesia, seperti: Savrinus Suardi, Usamah, Sjahrial Djalil, dan Yo Wijayakusumah. Mereka adalah muka-muka baru yang sebelumnya bukan merupakan aktivis PBRI.

Rapat Anggota juga menyepakati pembubaran PBRI dan pembentukan asosiasi yang baru dengan nama Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). Dengan pembentukan PPPI, secara resmi hilang pula istilah ”biri reklame” yang berbau kebelanda-belandaan, digantikan dengan istilah yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman: ”perusahaan periklanan”. Desakan untuk mengganti istilah ”biro reklame” juga didasari pada kenyataan bahwa tukang pembuat stempel di pinggir jalan pun menyebut diri mereka sebagai biro reklame.

Pada saat didirikan, PPPI beranggotakan 30 perusahaan periklanan. Sahrial Djalil AdForce menyumbangkan logo bagi asosiasi yang baru itu. PPPI juga segera merumuskan Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga yang baru untuk menampung aspirasi periklanan modern.

Leave a comment